Dunia pendidikan Indonesia mengalami percepatan transformasi. Sejak Mahkamah Konstitusi mengesahkan aturan bahwa sekolah tidak boleh memungut iuran dari orang tua, banyak sekolah gratis mulai mengalami tantangan besar dalam hal pendanaan dan keberlangsungan operasional.
Namun apakah kepala sekolah cukup hanya mengelola kurikulum dan urusan administratif?
Jawabannya: tidak lagi cukup.
Tanggal 15 Juni 2025 ini diperingati sebagai Hari Ayah Sedunia, momen yang bikin banyak ayah—termasuk yang mungkin sedang membaca artikel ini—merenung sejenak: Sudahkah aku memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anakku, tanpa harus memaksakan biaya selangit? Pertanyaan itu tak sekadar tentang angka, tapi tentang nilai: sekolah seperti apa yang layak didukung oleh seorang ayah yang peduli?
Hari ini, pendaftaran SPMB Jateng 2025 resmi dibuka dan langsung menyita perhatian publik. Ribuan calon siswa dan orang tua berburu informasi melalui kanal daring yang telah disediakan. Link pendaftaran dan tata cara resmi pun telah dirilis oleh panitia melalui laman https://spmb.jatengprov.go.id.
Namun di tengah hiruk-pikuk promosi dan serbuan peserta didik baru, muncul pertanyaan penting: Apakah narasi sekolah hanya berhenti pada ajakan untuk daftar? Atau justru bisa jadi jembatan untuk membangun ekosistem kolaboratif jangka panjang?
Anda mungkin tidak menyangka bahwa pembelajaran sosial emosional yang kini ramai dibahas sebenarnya berakar dari teori klasik psikologi pendidikan. Menurut Kumparan, pendekatan ini berkembang dari teori Multiple Intelligences milik Howard Gardner dan teori Emotional Intelligence oleh Daniel Goleman. Dua nama besar yang mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan cuma soal nilai, tapi tentang kecerdasan hidup.
Strawberry Moon akan menghiasi langit Indonesia malam ini, 11 Juni 2025. Fenomena bulan purnama yang penuh makna ini bisa disaksikan mulai pukul 18.00 WIB di seluruh wilayah nusantara. Nama "Strawberry Moon" berasal dari tradisi suku asli Amerika Utara yang menjadikannya penanda masa panen stroberi—momen perubahan, hasil kerja keras, dan awal yang baru.
Tepat seperti itu pula peran kepala sekolah di era pendidikan modern: bukan sekadar pengelola administratif, tapi pemimpin strategis yang siap memanen dampak dari mindset baru. Inilah saatnya dari “kepala sekolah” bertransformasi menjadi School CEO.
Ketika TikTok Shop saja harus melakukan PHK ratusan karyawan Tokopedia karena tekanan regulasi, pertanyaannya: bagaimana dengan sekolah swasta yang kini menghadapi tekanan luar biasa dari kebijakan sekolah gratis tanpa pungutan?
Putusan Mahkamah Konstitusi soal pelarangan pungutan kepada orang tua di sekolah negeri bisa jadi hanya awal dari efek domino yang akan menyentuh sekolah swasta. Banyak yayasan saat ini mulai merasakan sulitnya menjaga kualitas pendidikan dengan sumber daya yang makin terbatas. Tapi berita baiknya: teknologi bukan hanya solusi, ia adalah penyelamat.
“Sekolah gratis? Wah, enak dong!” Tapi apakah benar demikian? Di balik euforia kebijakan ini, ada tantangan besar yang mengintai dunia pendidikan swasta. Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari dunia bisnis yang sedang panas-panasnya membahas merger raksasa GoTo-Grab?
Jakarta – Dunia bisnis kembali terguncang dengan kabar potensi merger antara dua raksasa teknologi, GoTo dan Grab, yang dikaitkan dengan masuknya Danantara. Namun pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menyampaikan kritik tajam: “Kalau masuknya Danantara adalah upaya menyehatkan keuangan GoTo, maka sangat kecil dampaknya bagi pengemudi dan konsumen.”
Sama seperti jalan kaki 45 menit yang terbukti setara efeknya dengan obat bagi penderita kanker, ada juga “jalan sehat” yang bisa menyelamatkan sekolah swasta di era sekolah gratis. Jalan itu bernama SISKO Whitelabel—bukan cuma solusi administrasi, tapi tonggak baru kemandirian dan keberlanjutan yayasan pendidikan. Kalau jalan kaki bisa memperpanjang hidup, maka memilih SISKO bisa memperpanjang napas sekolah Anda.